Entri asli: 16 Agustus 2007
*tulisan ini gw buat waktu ada tugas Dasar-dasar Penulisan semester 1 kemaren. ternyata nemu lagi tersembunyi di kompi gw... gw ambil tema dari TKA yang gw buat...
Jakarta, ibukota negara yang memiliki sejarah panjang. Sejarah Jakarta berawal dari kota pelabuhan, yang nantinya akan menjadi cikal bakal berdirinya Oud Batavia. Peninggalan dari Oud Batavia ini, bisa kita saksikan di daerah Kota. Siapa sangka, batas Oud Batavia hanya terbentang dari Museum Fatahillah, hingga Pelabuhan Sunda Kelapa.
Sudah lama Pemprov DKI Jakarta menjadikan daerah Kota Tua sebagai obyek wisata sejarah, dengan primadonanya adalah Museum Fatahillah. Museum Fatahillah sudah berkali-kali mengalami renovasi, dan masih terawat rapi. Tapi peninggalan di Kota Tua tidak hanya itu saja. Cobalah naik bus 02 jurusan Senen-Muara Karang, maka kita akan melewati Pasar Ikan. Disinilah, bangunan tertua di Batavia berada. Namanya Museum Bahari.
Sesuai namanya, Museum Bahari menyimpan barang-barang yang berhubungan dengan bahari seperti kapal, peta, alat-alat navigasi, juga profil Angkatan Laut. Barang-barang itu cukup bernilai dan penting dalam merekonstruksi sejarah Jakarta dan Indonesia. Namun, apa yang tampak di luar tidak sama dengan yang ada di dalam museum.
Saya akan menceritakan perjalanan saya ke Museum Bahari, mulai dari turun bus 02. Saya turun tepat di depan pintu masuk Pasar Ikan. Jika melihat keadaannya, saya sulit percaya bahwa ada peninggalan bersejarah di tempat ini. Dari tempat saya turun, tidak ada papan petunjuk ataupun papan nama Museum Bahari. Saya pun menyeberang jalan dan kebingungan mencari Museum Bahari. Yang saya lihat hanya sekumpulan pedagang kaki lima, mulai dari tukang rokok, makanan, minuman, dan aksesoris. Bahkan ada ojek sepeda.
Saya pun bertanya kepada penjual rokok. Oleh penjual rokok, saya diberi tahu arah menuju Museum Bahari. Ternyata, pintu depan museum berada tepat di depan pasar. Saya pun berjalan kira-kira 200 meter ke arah Pasar Ikan. Eits, jangan samakan Pasar Ikan dengan pasar tradisional lainnya, ya. Pasar ini merupakan sentra dari suvenir berbahan baku laut dan alat-alat melaut, seperti jala dan pancingan. Jalanannya sudah bagus karena cor beton. Saya terus berjalan sambil mengamati keadaan sekitar.
Jalanan cukup ramai dengan transaksi pedagang dan pembeli. Saya sempat melihat pos polisi Pasar Ikan. Para polisi sedang bersantai di depan pos bersama para pedagang sambil merokok. Ketika pandangan saya beralih, saya melihat pintu gerbang Museum Bahari. Saya pun bergegas menuju pintu itu dan masuk ke Museum Bahari. Di loket, saya membeli tiket seharga Rp 1.000 dan masuk ke ruang pertama yang letaknya ada di bagian kanan pintu masuk, Ruang Maritim namanya. Disini, saya melihat peta Batavia pada abad 17, juga peta Indonesia sekarang. Siapa sangka, sebagian besar daerah Batavia waktu itu masih berupa hutan lebat. Selain itu, juga ada miniatur dari kapal-kapal laut, seperti KRI Arung Samudra.
Berjalan lagi, saya memasuki Ruang Navigasi. Disini, kita bisa melihat alat-alat yang dipakai dalam pelayaran. Ada kemudi, lampu badai, radar, hingga tangga kapal yang terbuat dari tali. Saya kembali berjalan menuju ruangan berikutnya. Saya tidak tahu apa nama ruangan ini, tapi isi dari ruangan ini adalah hewan-hewan laut yang diawetkan. Mulai dari jenis moluska sampai ikan laut diawetkan dengan formalin sehingga bentuknya masih sama. Rupanya ruangan ini adalah ruang terakhir dari lantai 1.
Saya pun menaiki tangga menuju lantai 2. Saya langsung disambut dengan miniatur dari pulau-pulau di Teluk Jakarta, seperti Pulau Onrust. Di jaman kolonial, pulau-pulau di Teluk Jakarta ini digunakan sebagai benteng pertahanan pertama Batavia untuk menghadapi serangan laut. Ruangan selanjutnya sepertinya ditata dengan tema Angkatan Laut RI. Ada beberapa seragam dan perlengkapan AL. Itu adalah ruangan terakhir. Saya pun menuruni tangga dan berjalan ke bagian halaman museum.
Anginnya cukup sejuk, sehingga saya memutuskan untuk bersantai. Saya perhatikan sekeliling, rupanya museum ini terdiri atas 3 gedung. Berdasarkan informasi yang saya terima, museum ini adalah gudang rempah-rempah, penyimpanan sementara sebelum disalurkan ke pasukan maupun dijual. Dengan sejarah yang demikian panjang, hati saya teriris melihat keadaan museum ini.
Dari koleksi, penataannya sangat memprihatinkan. Banyak koleksi yang berdebu, bahkan ditata dengan tidak menarik. Beberapa koleksi bahkan mengalami kerusakan, seperti yang dialami beberapa koleksi perahu. Selain itu, tidak ada petunjuk lengkap mengenai kegunaan koleksi itu.
Yang perlu mendapat perhatian serius adalah kondisi bangunan. Bangunan ini sudah berusia lebih dari 300 tahun, sehingga perawatannya pun harus spesial. Belum lagi letaknya yang berada di pinggir laut, sehingga udara yang mengandung garam bisa merusak bangunan museum yang mulai rapuh.
Di beberapa tempat, terlihat tembok-tembok yang rusak karena resapan air laut. Kandungan garam dalam air laut membuat tembok itu pecah. Tidak usaha berarti yang bisa dilakukan, karena dindingnya yang rapuh membutuhkan bahan cat khusus dari Belanda. Karena kurangnya biaya, maka tembok itu dibiarkan apa adanya. Tidak diperbaiki ataupun dicat.
Saya pun kembali berjalan, bermaksud melihat-lihat dua gedung lainnya. Gedung kedua, yang merupakan gedung terkecil, hanya berisikan perahu tradisional. Gedung ketiga digunakan sebagai kantor administrasi. “Hanya itu saja?” pikir saya. Saya pun melangkahkan kaki untuk keluar dari museum. Saya ingin mengunjungi Menara Syahbandar, yang masih satu bagian dengan Museum Bahari.
Menara ini adalah menara penjaga pantai. Menara ini adalah penghubung Batavia dengan pulau-pulau terluar di Teluk Jakarta. Menara Syahbandar terbuat dari kayu dan terdiri atas 3 lantai. Dengan membayar Rp 1.000 saya bisa menikmati pemandangan Sunda Kelapa dari atas. Bahkan menara ini juga bergoyang jika tertiup angin. Saya bisa melihat Pelabuhan Sunda Kelapa dan laut lepas. Namun pemandangan itu terganggu dengan kotornya kali yang berada di sebelah menara. Kali itu penuh dengan sampah yang menyebarkan bau tidak sedap.
Saat saya mengalihkan pandangan ke halaman menara, banyak sekali orang yang berpacaran! Tidak hanya itu, banyak juga preman dan pedagang yang memanfaatkan pelataran halaman sebagai tempat beristirahat. Suasananya memang enak, karena banyak pohon rindang. Tapi karena sebagian besar adalah laki-laki, saya jadi risih.
Seandainya Jakarta tidak berpolusi, mungkin saya masih bisa melihat Pulau Onrust atau Bidadari dari menara ini. Bayangkan, mereka saling berkirim sinyal untuk memberi kabar. Belum lagi suara laut pada malam hari. Tapi semua itu digantikan dengan asap polusi dan suara kendaraan lalu lalang di sekitar Pasar Ikan.
Mengakhiri rekreasi ini, saya memutuskan untuk makan soto mie di salah satu deretan pedagang. Sambil menunggu makanan saya datang, saya memikirkan nasib peninggalan bersejarah ini. Malang sekali bangunan ini! Tidak mempunyai parkir yang memadai, tidak ada petunjuk yang jelas dimana letaknya, dan daerahnya terlihat kumuh karena pedagang dan sampah. Sangat jauh dibandingkan keadaan Museum Fatahillah dan Museum Wayang.
Saya hanya bisa berharap bahwa Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, lebih memperhatikan nasib bangunan bersejarah tanpa pilih kasih. Karena semuanya adalah saksi bisu perjalanan bangsa Indonesia. Jika dirawat dengan baik, maka jumlah wisatawan yang datang akan meningkat.
Soto mie saya datang. Lumayan mengisi perut yang sejak tadi keroncongan. Selesai makan, iseng-iseng saya menengok ke belakang. Saya terkejut! Pantas saja saya tidak menemukan tulisan nama Museum Bahari. Selama bertahun-tahun, tugu nama Museum Bahari tertutup oleh pedagang soto mie!
*tulisan ini gw buat waktu ada tugas Dasar-dasar Penulisan semester 1 kemaren. ternyata nemu lagi tersembunyi di kompi gw... gw ambil tema dari TKA yang gw buat...
Jakarta, ibukota negara yang memiliki sejarah panjang. Sejarah Jakarta berawal dari kota pelabuhan, yang nantinya akan menjadi cikal bakal berdirinya Oud Batavia. Peninggalan dari Oud Batavia ini, bisa kita saksikan di daerah Kota. Siapa sangka, batas Oud Batavia hanya terbentang dari Museum Fatahillah, hingga Pelabuhan Sunda Kelapa.
Sudah lama Pemprov DKI Jakarta menjadikan daerah Kota Tua sebagai obyek wisata sejarah, dengan primadonanya adalah Museum Fatahillah. Museum Fatahillah sudah berkali-kali mengalami renovasi, dan masih terawat rapi. Tapi peninggalan di Kota Tua tidak hanya itu saja. Cobalah naik bus 02 jurusan Senen-Muara Karang, maka kita akan melewati Pasar Ikan. Disinilah, bangunan tertua di Batavia berada. Namanya Museum Bahari.
Sesuai namanya, Museum Bahari menyimpan barang-barang yang berhubungan dengan bahari seperti kapal, peta, alat-alat navigasi, juga profil Angkatan Laut. Barang-barang itu cukup bernilai dan penting dalam merekonstruksi sejarah Jakarta dan Indonesia. Namun, apa yang tampak di luar tidak sama dengan yang ada di dalam museum.
Saya akan menceritakan perjalanan saya ke Museum Bahari, mulai dari turun bus 02. Saya turun tepat di depan pintu masuk Pasar Ikan. Jika melihat keadaannya, saya sulit percaya bahwa ada peninggalan bersejarah di tempat ini. Dari tempat saya turun, tidak ada papan petunjuk ataupun papan nama Museum Bahari. Saya pun menyeberang jalan dan kebingungan mencari Museum Bahari. Yang saya lihat hanya sekumpulan pedagang kaki lima, mulai dari tukang rokok, makanan, minuman, dan aksesoris. Bahkan ada ojek sepeda.
Saya pun bertanya kepada penjual rokok. Oleh penjual rokok, saya diberi tahu arah menuju Museum Bahari. Ternyata, pintu depan museum berada tepat di depan pasar. Saya pun berjalan kira-kira 200 meter ke arah Pasar Ikan. Eits, jangan samakan Pasar Ikan dengan pasar tradisional lainnya, ya. Pasar ini merupakan sentra dari suvenir berbahan baku laut dan alat-alat melaut, seperti jala dan pancingan. Jalanannya sudah bagus karena cor beton. Saya terus berjalan sambil mengamati keadaan sekitar.
Jalanan cukup ramai dengan transaksi pedagang dan pembeli. Saya sempat melihat pos polisi Pasar Ikan. Para polisi sedang bersantai di depan pos bersama para pedagang sambil merokok. Ketika pandangan saya beralih, saya melihat pintu gerbang Museum Bahari. Saya pun bergegas menuju pintu itu dan masuk ke Museum Bahari. Di loket, saya membeli tiket seharga Rp 1.000 dan masuk ke ruang pertama yang letaknya ada di bagian kanan pintu masuk, Ruang Maritim namanya. Disini, saya melihat peta Batavia pada abad 17, juga peta Indonesia sekarang. Siapa sangka, sebagian besar daerah Batavia waktu itu masih berupa hutan lebat. Selain itu, juga ada miniatur dari kapal-kapal laut, seperti KRI Arung Samudra.
Berjalan lagi, saya memasuki Ruang Navigasi. Disini, kita bisa melihat alat-alat yang dipakai dalam pelayaran. Ada kemudi, lampu badai, radar, hingga tangga kapal yang terbuat dari tali. Saya kembali berjalan menuju ruangan berikutnya. Saya tidak tahu apa nama ruangan ini, tapi isi dari ruangan ini adalah hewan-hewan laut yang diawetkan. Mulai dari jenis moluska sampai ikan laut diawetkan dengan formalin sehingga bentuknya masih sama. Rupanya ruangan ini adalah ruang terakhir dari lantai 1.
Saya pun menaiki tangga menuju lantai 2. Saya langsung disambut dengan miniatur dari pulau-pulau di Teluk Jakarta, seperti Pulau Onrust. Di jaman kolonial, pulau-pulau di Teluk Jakarta ini digunakan sebagai benteng pertahanan pertama Batavia untuk menghadapi serangan laut. Ruangan selanjutnya sepertinya ditata dengan tema Angkatan Laut RI. Ada beberapa seragam dan perlengkapan AL. Itu adalah ruangan terakhir. Saya pun menuruni tangga dan berjalan ke bagian halaman museum.
Anginnya cukup sejuk, sehingga saya memutuskan untuk bersantai. Saya perhatikan sekeliling, rupanya museum ini terdiri atas 3 gedung. Berdasarkan informasi yang saya terima, museum ini adalah gudang rempah-rempah, penyimpanan sementara sebelum disalurkan ke pasukan maupun dijual. Dengan sejarah yang demikian panjang, hati saya teriris melihat keadaan museum ini.
Dari koleksi, penataannya sangat memprihatinkan. Banyak koleksi yang berdebu, bahkan ditata dengan tidak menarik. Beberapa koleksi bahkan mengalami kerusakan, seperti yang dialami beberapa koleksi perahu. Selain itu, tidak ada petunjuk lengkap mengenai kegunaan koleksi itu.
Yang perlu mendapat perhatian serius adalah kondisi bangunan. Bangunan ini sudah berusia lebih dari 300 tahun, sehingga perawatannya pun harus spesial. Belum lagi letaknya yang berada di pinggir laut, sehingga udara yang mengandung garam bisa merusak bangunan museum yang mulai rapuh.
Di beberapa tempat, terlihat tembok-tembok yang rusak karena resapan air laut. Kandungan garam dalam air laut membuat tembok itu pecah. Tidak usaha berarti yang bisa dilakukan, karena dindingnya yang rapuh membutuhkan bahan cat khusus dari Belanda. Karena kurangnya biaya, maka tembok itu dibiarkan apa adanya. Tidak diperbaiki ataupun dicat.
Saya pun kembali berjalan, bermaksud melihat-lihat dua gedung lainnya. Gedung kedua, yang merupakan gedung terkecil, hanya berisikan perahu tradisional. Gedung ketiga digunakan sebagai kantor administrasi. “Hanya itu saja?” pikir saya. Saya pun melangkahkan kaki untuk keluar dari museum. Saya ingin mengunjungi Menara Syahbandar, yang masih satu bagian dengan Museum Bahari.
Menara ini adalah menara penjaga pantai. Menara ini adalah penghubung Batavia dengan pulau-pulau terluar di Teluk Jakarta. Menara Syahbandar terbuat dari kayu dan terdiri atas 3 lantai. Dengan membayar Rp 1.000 saya bisa menikmati pemandangan Sunda Kelapa dari atas. Bahkan menara ini juga bergoyang jika tertiup angin. Saya bisa melihat Pelabuhan Sunda Kelapa dan laut lepas. Namun pemandangan itu terganggu dengan kotornya kali yang berada di sebelah menara. Kali itu penuh dengan sampah yang menyebarkan bau tidak sedap.
Saat saya mengalihkan pandangan ke halaman menara, banyak sekali orang yang berpacaran! Tidak hanya itu, banyak juga preman dan pedagang yang memanfaatkan pelataran halaman sebagai tempat beristirahat. Suasananya memang enak, karena banyak pohon rindang. Tapi karena sebagian besar adalah laki-laki, saya jadi risih.
Seandainya Jakarta tidak berpolusi, mungkin saya masih bisa melihat Pulau Onrust atau Bidadari dari menara ini. Bayangkan, mereka saling berkirim sinyal untuk memberi kabar. Belum lagi suara laut pada malam hari. Tapi semua itu digantikan dengan asap polusi dan suara kendaraan lalu lalang di sekitar Pasar Ikan.
Mengakhiri rekreasi ini, saya memutuskan untuk makan soto mie di salah satu deretan pedagang. Sambil menunggu makanan saya datang, saya memikirkan nasib peninggalan bersejarah ini. Malang sekali bangunan ini! Tidak mempunyai parkir yang memadai, tidak ada petunjuk yang jelas dimana letaknya, dan daerahnya terlihat kumuh karena pedagang dan sampah. Sangat jauh dibandingkan keadaan Museum Fatahillah dan Museum Wayang.
Saya hanya bisa berharap bahwa Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, lebih memperhatikan nasib bangunan bersejarah tanpa pilih kasih. Karena semuanya adalah saksi bisu perjalanan bangsa Indonesia. Jika dirawat dengan baik, maka jumlah wisatawan yang datang akan meningkat.
Soto mie saya datang. Lumayan mengisi perut yang sejak tadi keroncongan. Selesai makan, iseng-iseng saya menengok ke belakang. Saya terkejut! Pantas saja saya tidak menemukan tulisan nama Museum Bahari. Selama bertahun-tahun, tugu nama Museum Bahari tertutup oleh pedagang soto mie!