HARRY POTTER belum pernah jadi bintang tim Quidditch, mencetak angka sambil terbang tinggi naik sapu. Dia tak tahun mantra sama sekali, belum pernah membantu menetaskan naga ataupun memakai Jubah Gaib yang bisa membuatnya tidak kelihatan.
Selama ini dia hidup menderita bersama paman dan bibinya, serta Dudley, anak mereka yang gendut dan manja. Kamar Harry adalah lemari sempit di bawah tangga loteng, dan selama sebelas tahun, belum pernah sekali pun dia merayakan ulang tahun.
Tetapi semua itu berubah dengan datangnya surat misterius yang dibawa oleh burung hantu. Surat yang mengundangnya datang ke tempat luar biasa, tempat yang tak terlupakan bagi Harry--dan siapa saja yang membaca kisahnya. Karena di tempat itu dia tak hanya menemukan teman, olahraga udara, dan sihir dalam segala hal, dari pelajaran sampai makanan, melainkan juga takdirnya untuk menjadi penyihir besar... kalau Harry berhasil selamat berhadapan dengan musuh bebuyutannya. (sumber dari sini)
Membaca kembali buku Harry Potter dan Batu Bertuah, seakan menemukan kembali keajaiban baru. Pengarang JK Rowling memulai cerita dengan menyinggung sedikit apa yang terjadi di dunia sihir. Bab demi bab mengalir dengan penjelasan bagaimana sesungguhnya dunia sihir ala Rowling.
Terus terang, sebelum membaca buku ini, dunia sihir yang ada di pikiran saya adalah dunia yang sangat kelam. Salahkan film Disney yang menyajikan penyihir dalam cerita Sleeping Beauty ataupun Snow White and 7 Dwarfs sebagai orang yang jahat berhati dengki. Di tangan Rowling, dunia sihir menjadi lebih berwarna.
Rowling menciptakan dunia sihir dengan sistem yang menyerupai dunia Muggle. Di dunia sihir ada sistem pemerintahan sendiri dan bekerja sama dengan pemerintahan Muggle. Siapa sangka bahwa di dunia sihir juga ada mata uang sendiri, untuk membeli berbagai perlengkapan penyihir, di suatu daerah yang hanya komunitas mereka sendiri yang tahu dimana letaknya. Singkat kata, kehidupan sihir sama dengan dunia Muggle. Yang membedakan terletak pada penggunaan sihir saja.
Buku ini sangat deskriptif. Rowling menggambarkan para tokoh dengan sangat detil. Dengan membaca saja, saya sudah bisa membayangkan seberapa tuakah Dumbledore, bagaimana bentuk rambut Snape yang berminyak, merahnya rambut para Weasley. Belum lagi deskripsi Rowling akan tempat-tempat. Hogwarts yang megah, Diagon Alley yang ramai, kelas Ramuan yang gelap. Semua sudah terekam di kepala.
Yang saya suka, Rowling pintar membangun tensi pembaca. Puncak tensi ada pada bagian Quidditch serta petualangan terakhir Harry, Ron dan Hermione menaklukkan satu persatu jebakan menuju Batu Bertuah. Bagian paling mengharukan adalah ketika Harry menemukan sosok orang tua di Cermin Tarsah. Sebagai anak yatim piatu, Harry sangat merindukan kedua orang tuanya. Hal yang sama juga saya rasakan ketika saya harus tinggal di kos dan jauh dari orang tua untuk kuliah dan bekerja.
Sebagai awal sebuah saga, buku ini memperkenalkan dengan baik pondasi cerita Harry Potter. Plot yang disampaikan masih bisa dicerna pembaca muda. Tidak terlalu gelap. Ketika buku ini diadaptasi ke film, tone warna didominasi warna cerah.
Selesai membaca buku ini, saya kembali membayangkan, kejutan apalagi yang disiapkan oleh Rowling di buku berikutnya.
Rating: 4/5